Error: Invalid or missing Google Analytics token. Please re-authenticate.

DPRD PPU Ungkap Masalah Stunting dan Kekurangan Dokter dalam Rapat LKPJ - Beritakaltimterkini.com

DPRD PPU Ungkap Masalah Stunting dan Kekurangan Dokter dalam Rapat LKPJ


PENAJAM – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) juga menyoroti sejumlah persoalan krusial di sektor kesehatan, khususnya terkait penanganan stunting dan ketersediaan tenaga medis. Hal ini disampaikan Ketua Pansus LKPJ DPRD PPU, Thohiron, dalam Rapat Paripurna yang digelar Rabu (28/5/2025) di Gedung DPRD PPU.

Thohiron mengungkapkan, capaian pengukuran balita yang berkunjung ke posyandu pada akhir 2024 meningkat dan sudah berada di atas 80 persen. Namun, prevalensi balita stunting masih cukup tinggi, yakni sebesar 14,90 persen.

“Persentase kasus stunting memang cenderung fluktuatif, salah satu penyebabnya adalah cakupan penimbangan balita yang belum mencapai target minimal 90 persen, serta keterbatasan petugas gizi dan tenaga verifikasi data di puskesmas,” ujar Thohiron.

Ia juga mengungkapkan temuan menarik, rendahnya kunjungan balita ke posyandu justru terjadi pada kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Menurutnya, masih banyak yang menganggap bahwa layanan posyandu hanya diperuntukkan bagi masyarakat umum.

“Ini perlu diluruskan. Posyandu adalah layanan dasar untuk seluruh lapisan masyarakat, termasuk ASN dan P3K. Kesadaran ini harus diperkuat,” tegasnya.

Terkait pelayanan medis, ia memaparkan kondisi SDM kesehatan di beberapa fasilitas layanan. Di RS Sepaku, terdapat 7 dokter umum, 5 dokter spesialis, 7 dokter gigi, serta 21 tenaga keperawatan. Sementara di puskesmas yang tersebar di seluruh PPU, hanya terdapat 14 dokter gigi. Jumlah ini dinilai masih belum mencukupi kebutuhan layanan kesehatan yang optimal.

Selain itu, belum tersedianya indikator stunting berbasis kabupaten menjadi hambatan dalam proses pemantauan dan intervensi kebijakan.

“Penentuan status stunting masih mengacu pada survei tingkat provinsi. Ini menyebabkan pemerintah daerah tidak leluasa dalam menyatakan dan menangani kasus secara langsung,” jelas Thohiron.

Ia menambahkan, Daerah hanya bisa menyebut status ‘mendekati stunting’ karena kewenangan penetapan resmi ada di provinsi melalui lembaga khusus.

Permasalahan lainnya yang menjadi sorotan adalah kurangnya pendampingan Dinas Kesehatan terhadap penggunaan dana Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) oleh puskesmas, serta minimnya tenaga kesehatan yang memenuhi standar nasional.

Thohiron mendorong adanya pengembangan indikator stunting spesifik berbasis lokal yang melibatkan kolaborasi lintas sektor, termasuk Dinas Kesehatan, BPS, dan lembaga terkait. Langkah ini diharapkan dapat memperkuat dasar kebijakan dan mempercepat penurunan angka stunting di PPU secara lebih efektif.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *